Jumat, 15 Januari 2016

MISSING TWINS

Hari ini adalah hari minggu, hari dimana sekolah diliburkan. Liana sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Dia bingung antara masuk atau tidak masuk ke dalam. Kalau masuk, ayahnya pasti akan memeluknya dengan erat sampai ia tidak bisa bernapas lalu berkata kalau dia sangat mengkhawatirkan Liana berulang kali karena ia tidak pulang semalam. Tetapi kalau tidak masuk, kaki Liana pegal berdiri di depan rumahnya terus.

Ya sudahlah, lebih baik masuk saja. Toh, walaupun dia tidak masuk selama beberapa jam pun ujung-ujungnya dia akan masuk juga.

Krieeek…

Blam!

“Aku pulang-“

“Selamat datang, Liana!!”

Seorang pria berambut pirang dan dikuncir satu itu langsung menuju pintu rumahnya, lalu memeluk anak putrinya dengan erat. Liana hanya tertawa kecil melihat tingkah laku ayahnya dan memeluknya balik.

“Kemana saja kamu, Liana? Ayah benar-benar khawatir!” Ayahnya melepas pelukan mereka dan memegang kedua pundak Liana, mengguncangnya dengan pelan.

“Kemarin aku mengerjakan tugas di rumah temanku sampai larut malam, lalu akhirnya dia menyuruhku untuk menginap saja di rumahnya,” Kata Liana yang berbohong.

“Oh, begitu… syukurlah kau tidak apa-apa, Liana…”

Ayah Liana mengusap-usap rambut Liana dengan lembut dan mengajak Liana untuk sarapan bersama. Liana pun mengikuti ayahnya di belakang. Terkadang, Liana meragukan apabila ayahnya ini benar-benar pria atau bukan. Lihat saja, rambutnya panjang, tinggi badannya juga dibawah rata-rata pria seumurannya, dia juga tidak bertumbuh janggut atau kumis. Liana lebih menganggap ayahnya itu seperti ibu dibandingkan seorang ayah.

Liana tersenyum dengan lebar. Ayahnya memang ayah terunik di dunia.

@@@@@

“Hah… besok sekolah…”

Hari telah malam. Liana merebahkan dirinya di atas kasur sambil memeluk bonekanya. Lalu, ia berbicara dengan boneka itu layaknya ia sedang berbincang-bincang dengan temannya.

“Hei, Miku-chan? Menurutmu, apakah besok aku masih hidup?”

Boneka Miku itu diam.

“Miku-chan?” Liana pun bertanya lagi kepada bonekanya itu, “Menurutmu… demon itu benar-benar nyata atau hanya khayalan saja?”

“Kalau tidak nyata, kenapa kau bisa membunuhnya?”
Liana langsung kaget. Bonekanya berbicara! Tapi, tunggu. Kenapa suara boneka miliknya itu seperti laki-laki? Miku-chan, kan, perempuan?

“Miku-chan? Kamu bisa bicara?”

Terdengar helaan napas dari suara itu.

“Bukan dia yang berbicara. Tapi aku,”

Liana ber ‘eh’ lalu menengok ke arah jendelanya. Seorang laki-laki mengenakan seragam SMA-nya sambil membawa katana hitam di pinggang kirinya. Wajahnya yang selalu cemberut itu menambah kesan mengerikan, ditambah lagi dengan matanya 
yang semerah darah.

“Ah… Kurosuke-senpai… kau mengagetkan aku saja…” Liana mengelus dadanya tanda lega. Ia pikir bonekanya benar-benar berbicara, tapi ternyata tidak. Syukurlah…

“Aku disuruh Juno untuk menjemputmu. Ayo,”

“Eh? U-untuk apa?” Tanya Liana sambil memiringkan kepalanya.

Kurosuke hanya bisa mendecak kesal. Kenapa perempuan satu ini sangatlah polos? Bukankah sudah pasti kalau Juno memanggil, berarti ada misi?

“Misi. Cepat, kau membuang-buang waktu,” Kata Kurosuke tidak sabar.

“Tapi, aku belum mengganti bajuku-“

“Kalau begitu cepat. Aku akan menunggumu di atas atap rumahmu. Ingat, aku benci menunggu.”

Kurosuke naik ke atas atap rumah Liana dan duduk sambil mengawasi keadaan sekitar. Liana menutup jendela kamarnya dan berganti baju menjadi seragam sekolahnya.

Beberapa menit kemudian…

“Aku sudah selesai, senpai!”

Liana membuka jendela lalu membiarkan Kurosuke untuk turun dan bersandar di jendela. Setelah merasa bahwa semuanya sudah siap, Kurosuke langsung melompati setiap atap rumah.

Liana diam sebentar lalu keluar melalui jendela. Perlahan-lahan, dia meletakkan kaki kanannya, lalu disertai kaki kirinya. Tangannya masih berpegangan erat dengan jendela.

Ia tidak pernah keluar melalui jendela ataupun melompati atap-atap rumah orang sekalipun. Biasanya, ia keluar rumah melalui pintu depan saja. Tapi melalui jendela?  Liana belum pernah melakukan hal se-ekstrim itu.

“Pelan-pelan… pelan-pelan…” Kata Liana yang berusaha menyemangati diri sendiri.

Ia melompat ke atap rumah lain, dan berhasil. Tetapi, kaki kirinya tidak mengenai pijakan dan tubuhnya pun mulai terjatuh ke belakang.

“Aakh…! Tolong-“

GREP!     

“Lain kali hati-hati lah,” Kurosuke langsung menangkap lengan Liana dan menariknya.

“Ah… terima kasih, senpai,” Liana merasa wajahnya memerah karena malu. Berkali-kali dia telah ditolong oleh Kurosuke tetapi dia tidak bisa membalaskan budinya itu.

“Hn.” Jawab Kurosuke dengan singkat. Tangan kanannya menarik Liana dan menuntunnya melewati tiap atap-atap rumah. 

Liana hanya pasrah dan membiarkan Kurosuke membawanya.

@@@@@

Setelah 22 menit melompati atap-atap rumah orang lain, akhirnya mereka sampai di Asrama Demon Hunter. Kurosuke membuka pintu asrama dan memasukinya, membiarkan pintunya terbuka lebar agar Liana masuk. Liana pun memasuki asrama dan menutup pintunya dengan perlahan.

“Selamat datang, Liana-chan!” Sambut Juno yang sedang duduk sambil membaca sebuah majalah wanita di pangkuannya.

Liana menjawabnya dengan senyuman. Semua anggota Demon Hunter telah berkumpul di ruang tamu. Ada Haruki yang sedang berlatih dengan setiap tendangan dan pukulannya, lalu Saki melemparkan bumerangnya ke dinding dapur dan langsung menangkapnya ketika bumerang miliknya kembali, Kurosuke langsung duduk disamping Juno yang sudah selesai membaca majalahnya, dan seorang pria yang belum pernah Liana lihat sebelumnya. Rambut merah pria itu mengingatkannya pada guru sejarah di sekolahnya.

“Sanada-sensei, ini anggota baru yang kubicarakan waktu itu,” Juno menarik Liana agar pria ber-jas itu bisa melihatnya dengan lebih jelas.

“Oh, dia orangnya… salam kenal, aku Sanada Shigeru. Aku mengajar pelajaran sejarah di sekolah. Aku adalah pembina dari klub ini. Kita pasti pernah bertemu sebelumnya, tapi aku akan berusaha untuk mengingat wajahmu, Liana.” Sanada-sensei tersenyum sambil membenarkan letak kacamatanya.

“Ya, salam kenal, sensei…” Liana membungkukkan badannya.

Haruki yang sudah merasa bosan tiba-tiba berhenti berlatih dan menghampiri Juno dengan wajah cemberut. Ah, Juno tahu kenapa dia seperti itu. Pasti dia ingin segera menjalankan misi hari ini. Terkadang, teman sekelasnya itu mudah sekali untuk ditebak.

“Juno…!”

“Iya, iya, aku tahu. Ehem,” Juno berdehem kecil, “Baiklah. Hari ini misi kita tidak begitu sulit. Aku mendeteksi bahwa ada demon yang sedang berkeliaran di 2 tempat, yaitu di Stasiun Konohana dan di depan Toko Lawson.”

“Tapi, bagaimana kalau di tempat itu ada manusia lain yang melihatnya?” Tanya Liana.

“Tentu saja akan ada yang melihatnya. Tapi keesokan harinya, mereka akan langsung lupa atau menganggapnya bahwa itu hanyalah mimpi. Dan bagi yang terus mengingatnya sampai-sampai mereka terkena tekanan batin karena saking ketakutannya…” Juno memejamkan matanya, lalu membukanya dengan perlahan, “… Mereka akan terus seperti itu. Kami menyebut mereka dengan EF.

"EF? Apa itu?” Tanyanya lagi.

EF adalah singkatan dari Everlasting Fear, semacam sindrom yang membuat sang pelaku yang telah melihat demon langsung berteriak-teriak tanpa henti layaknya orang yang sedang kerasukan hantu nenek moyangnya.” Jelas Juno panjang lebar pada Liana.

DEG!

Liana merasa bulu kuduknya berdiri. Se-menakutkan itukah demon, sampai bisa membuat orang menjadi seperti itu? Benar-benar mengerikan…

“Apakah semua itu… benar?” Tanya Liana yang masih tidak percaya dengan apa yang Juno katakan.

“Iya, semua yang Juno katakan itu benar. Tapi,” Sanada-sensei bangkit dari tempat duduknya dan menepuk pundak Liana pelan “Kau tidak perlu khawatir. Sebab, kau aman dari EF karena kau bisa melawan demon-demon itu sendiri.” Katanya sambil melemparkan senyumnya ke Liana agar Liana merasa lebih tenang.

“Baik! Aku akan membuat 2 kelompok. Kurosuke dan Liana,” Juno menunjuk ke arah dua orang yang sedang duduk di atas sofa itu “Kalian pergi ke Stasiun Konohana. Sementara aku, Haruki, dan Saki akan pergi ke Toko Lawson. Aku ingin kalian memusnahkan seluruh demon di tempat itu tanpa tersisa sedikit pun. Mengerti?”

Seluruh anggota Demon Hunter pun mengangguk secara bersamaan.

“Sekarang… laksanakan misi!”

Para anggota Demon Hunter  langsung keluar dari asrama mereka dan mulai melaksanakan misi sesuai dengan apa yang dikatakan Juno. Sanada-sensei terdiam, lalu akhirnya ia menghela napas dan menghempaskan tubuhnya di sofa yang empuk itu.

“Haah… lagi-lagi aku ditinggal sendirian…”

Ia menatap langit-langit asrama, kemudian sorot matanya berubah menjadi serius.

“… Berjuanglah, murid-muridku.”

@@@@@

“GYAAH! MENJAUH DARIKU!”

“MONSTEEER!!”

“WAAA!!!”

Kurosuke dan Liana telah sampai di tujuan. Betapa kagetnya Liana ketika melihat banyak orang yang sedang berlari kesana-kemari untuk menyelamatkan nyawa mereka dari kejaran demon. Ada juga yang tidak berhasil melakukan pelariannya dan malah menjadi makanan untuk para demon.

“Kau siap?” Tanya Kurosuke sambil mengeluarkan katana miliknya dari sarungnya.

Liana mengambil pisau-pisaunya dan meletakkannya di sela-sela jarinya, “Siap!”
“Ayo!”

Kurosuke menebas demon satu per-satu dengan katananya. Ia berlari sambil menggerakkan tangan kanannya dan membunuh demon-demon yang menghalangi jalannya.

“Graaaw!”

“Ha!”

CRAAAS!!

Tiap demon yang mendekatinya akan berakhir dengan badan terbelah dua, bagian-bagian tubuh yang terlempar entah kemana, dan darah merah tua yang menghiasi tanah stasiun ini.

Demon lain kembali menyerang Kurosuke. Dengan sekali tebasan saja, langsung bisa membunuh hingga berpuluh-puluh demon.

Ketika ingin menghampiri Liana, demon menyerangnya dari belakang. Kurosuke pun menghentikan langkahnya dan memutar katananya agar ujung pedangnya itu di belakang. Tanpa aba-aba, ia langsung menusukan katana miliknya itu ke perut demon. Lalu, ia menarik pedangnya lagi dan membuat darah muncrat dengan derasnya dari perut demon tadi.

Kurosuke pun berlari menghampiri Liana yang sedang bertarung tidak jauh darinya.

“Haaat…. Hyaa!”

JLEB JLEB JLEB!

“Grauur…!!!”

Liana melemparkan pisau-pisaunya dan tepat mengenai jantung demon itu. Ia pun mulai melemparkan pisau-pisaunya ke demon yang lain.

“Raaawr!”
Demon yang besar datang menghampiri Liana. Tangan besarnya berusaha meraih Liana. Dengan cepat Liana melompat tinggi, melemparkan pisau-pisaunya ke udara, lalu ketika benda itu jatuh ke bawah ia langsung menendangnya dan mengenai demon besar tersebut.

Liana menyeka keringatnya. Dia belum begitu terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Ia melirik ke depannya dan masih banyak demon-demon lain yang menanti untuk dihabiskan.

Liana menarik napasnya perlahan-lahan, dan membuangnya. Ia mengulanginya lagi sampai ia benar-benar bisa bernapas dengan baik. Ia melirik ke arah kanan dan melihat Kurosuke yang sedang berlari menujunya.

“Ah, senpai!” Sapa Liana.

“Kau baik-baik saja?” Tanya Kurosuke ketika sampai di depan Liana.
Liana menganggukkan kepala tanda bahwa ia tidak apa-apa.

Seorang murid perempuan yang mengenakan seragam SMP berlari di depan tempat Kurosuke dan Liana berdiri. Semakin banyak langkah yang ia pijakkan ke tanah, semakin dekat dirinya ke arah demon. Di tengah lariannya, ia menginjak tali sepatunya sendiri dan terjatuh dengan wajah duluan yang mengenai tanah.

Liana berniat untuk menolongnya, tetapi tangan Kurosuke menghadangnya untuk berbuat lebih jauh lagi. Merasa kesal, ia pun mendorong tangan Kurosuke dari hadapannya dan berlari menuju perempuan yang sedang dikejar oleh demon itu.

“Oi! Jangan dekati dia! Bahaya!” Teriak Kurosuke dari kejauhan. Namun, Liana tidak menghiraukan kata-katanya.

Ia mendecak kesal dan berlari menyusul Liana. Ia bisa dihukum oleh Juno kalau sampai membiarkan Liana dibunuh.

Murid SMP itu diambang ketakutan dan lega. Kalau saja perempuan yang sedang berlari ke arahnya itu sampai lebih dulu dibanding demon yang mengejarnya, ia pasti akan selamat. Tetapi, jika demon itu melaju lebih cepat dibanding perempuan berambut pirang tersebut, nyawanya akan habis.

Sedikit lagi Liana akan sampai ke perempuan itu, sama dengan demon yang terbang dengan cepatnya dan hampir sampai ke tempat murid perempuan itu.

‘Ayo, Liana! Sedikit lagi…!' Katanya dalam hati.

4 langkah…

3 langkah…

2 langkah…

GREP!

“Hei! Kubilang bahaya!” Kurosuke memegang tangan Liana. Liana langsung meronta-ronta berusaha melepaskan tangannya, tapi Kurosuke mencengkramnya dengan kuat.

“Lepaskan, senpai! Aku harus menolongnya!”

“Tidak. Kau juga akan mati!”

“Memangnya kenapa?! Aku tidak peduli! Lepaskan aku!”
Baru saja Liana berhasil melepaskan dirinya dari Kurosuke, demon itu sudah sampai lebih dulu. Makhluk aneh itu menyeringai lalu membuka mulutnya lebar-lebar.

“Hiee…! Tolong-!“

HAUP!

CTAAAS!

Sebelum murid itu menyelesaikan kalimatnya, demon bersayap berbentuk tangan itu melahap kepalanya, melepaskannya langsung dari tubuhnya dengan paksa sehingga mengeluarkan bunyi yang kurang enak untuk didengar, dan menelannya bulat-bulat.

“…. Ah…”

Liana tidak bisa bergerak. Ia terlalu shock dengan seluruh tragedi yang baru saja terjadi di depan matanya. Dia… telah membiarkan murid SMP itu dibunuh dan dimakan oleh demon.

Demon Hunter macam apa dia ini…? Bukannya melindungi, malah membiarkan orang lain mati mengenaskan.

“Grrr…” Demon aneh yang menyerang murid SMP tadi melirik ke arah Liana dan Kurosuke. Ia langsung terbang dengan kecepatan penuh untuk menyerang mereka.
Liana, yang sedang berdiri di depan Kurosuke, tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Entah kenapa seluruh tubuhnya menjadi sangat kaku karena terlalu shock dengan apa yang terjadi tadi.

“Nggieek… Kieeek..!!” Teriak Demon itu yang sudah berjarak beberapa senti lagi di depan Liana sambil membawa tombaknya yang besar itu.

“… Ugh…”

Liana memejamkan matanya. Air mulai mengalir dari matanya dengan perlahan. Ia tidak berani membuka matanya, mungkin karena di depannya ada demon yang akan menyerangnya. Tapi, bukan karena itu ia menangis. Ia masih tidak bisa memaafkan dirinya atas matinya murid SMP tadi. Baginya, ia telah melakukan dosa besar karena tidak bisa menolong satu nyawa tak bersalah itu.

“Kieeeek…!”

JRAAAS!!

Tik… tik… suara jatuhnya darah ke lantai terdengar dengan jelas.
Liana membuka matanya dan melihat mayat demon di depannya. Ia mundur beberapa langkah hingga menabrak Kurosuke yang sedang berdiri di belakangnya sambil mengacungkan pedangnya ke arah mayat demon itu. Terdapat darah yang menempel sedikit di pedangnya.

Itu berarti… Kurosuke kah yang membunuhnya?

Tangan kiri Kurosuke langsung melepaskan lengan Liana yang ia pegang dari tadi, lalu ia memegang sarung pedangnya, membantu agar pedang yang ia pegang dengan tangan kanannya bisa masuk dengan mudah.

“… A-ah… a-aku… masih hi-hidup…?” Liana mengangkat kedua tangannya ke depan wajahnya, lalu memegang kedua pipinya. Dia masih bisa menyentuh dirinya sendiri. Itu berarti nyawanya belum hilang.

Kurosuke membiarkan Liana dengan dunianya sendiri, lalu mengambil handphone dari saku celananya. Ia mulai mengetik nomor seseorang lalu menelponnya. Setelah beberapa detik, akhirnya telponnya pun diangkat.

“… Halo?”

“Oi, Juno. Kami sudah menyelesaikan misi kami di Stasiun Konohana. Demon disini tidak begitu ganas, tetapi jumlahnya sangat banyak. Kami berhasil mengalahkan semuanya. Dan,” Ia melirik Liana yang masih memegangi wajahnya. “Perempuan itu shock berat karena tidak bisa menolong satu nyawa yang berharga. Yah, menurut dia, sih, berharga…” Katanya sambil memutar bola matanya.

“Oh, begitu… kalau begitu segeralah bawa dia pulang ke rumahnya. Kami bertiga juga sudah menyelesaikan misi kami.”

“Baik.”
Kurosuke memutus nada sambungnya lalu berjalan mendekati Liana. Ia berdiri di belakangnya dan memilih untuk diam sampai Liana menyadari bahwa Kurosuke masih ada di sini.

Butuh 15 menit agar Liana kembali seperti semula lagi. Ia melepaskan kedua tangannya dari pipinya, dan memutar badannya agar bisa melihat Kurosuke.

Senpai, aku masih hidup kan…?” Tanya Liana dengan polosnya.

“Kau tidak mungkin bisa berbicara ataupun berdiri kalau kau mati.” Jawab Kurosuke dengan sedikit ketus.

Liana hanya menundukkan kepalanya. Baru menjalankan 2 misi saja, dia sudah shock seperti ini. Bagaimana dengan misi-misi selanjutnya? Apakah mentalnya bisa sekuat anggota yang lain?

Entahlah. Dia tidak begitu yakin.

“Aku akan mengantarkanmu pulang. Cepat, jangan diam saja disana.” Kurosuke berjalan menjauh dari stasiun. Setelah beberapa detik, Liana mengikuti Kurosuke dari belakang.

Tapi, ketika dia ingin melangkah, dia mendengar sebuah suara yang tidak terdengar dengan jelas, namun masih bisa didengar dengan pendengaran manusia. Suara itu berkata tolong berkali-kali.

Tolong… tolong kami…”

“Tolong… kami tersesat… tolonglah…”

“Apakah… ada orang disana…?”

“Tolong… tolong… tolong…!!

“TOLONG!! TOLONG KAMI!”

Tubuh Liana langsung bergetar hebat. Ia langsung berlari keluar stasiun dan berdiri di samping Kurosuke. Tangan kanannya refleks meraih lengan baju kiri Kurosuke dan mencengkramnya kuat.

Kurosuke pun bingung. Ada apa lagi dengan perempuan satu ini?

Dalam perjalanan menuju rumah Liana, hanya suara jangkrik yang terdengar. Keduanya tidak mau mengucapkan sepatah kata satupun.

“Emm… senpai…?” Tanya Liana yang memecahkan keheningan.

“Hm,” Jawab Kurosuke singkat.

“Apa kau… mendengarnya?”

“Mendengar? Mendengar apa?” Giliran Kurosuke yang bertanya.

“Suara orang minta tolong ketika di dalam stasiun. Kau tidak mendengarnya?”

“Tidak.”

“Sama sekali tidak?”

“Sama sekali tidak.”

“… Oh…”

Liana kembali diam. Apakah Kurosuke benar-benar tidak mendengarnya? Suara itu awalnya memang tidak terdengar jelas, tapi lama-lama suara itu semakin kencang sampai membuat Liana ketakutan mendengarnya.

Setelah beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di rumah Liana. Seluruh lampu di rumahnya sudah dimatikan semua sehingga terlihat mengerikan dari luar.

“Terima kasih sudah mengantarkanku, senpai”, Liana membungkukkan badannya setengah.

“Hm. Cepat masuk ke dalam.”

“Iya. Sekali lagi terima kasih banyak.”

Liana langsung masuk ke dalam rumahnya dan berusaha untuk tidak membuat suara sedikit pun karena takut ayahnya terbangun.

Kurosuke melihat Liana dari belakang, dan ketika Liana sudah benar-benar masuk ke dalam rumah, ia pun kembali ke asrama dengan cara melompati atap-atap rumah orang.

                                                           @@@@@

Chirp… chirp… suara burung saling berkicauan di pagi hari yang cerah ini. Liana meregangkan tubuhnya, lalu beranjak turun dari kasurnya. Ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya, dan kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Dia merapikan sedikit buku pelajarannya lalu memasukkannya ke dalam tas. Setelah semuanya sudah rapih dan beres, ia turun ke lantai 1 menuju ruang makan.

“Pagi ayah,” Sapa Liana pada ayahnya yang sedang memasak untuk sarapan mereka.

“Pagi sayang.” Sapa ayahnya balik sambil tersenyum. Lalu, ia melanjutkan aktivitas mengoseng-oseng penggorengannya.

Liana duduk di salah satu kursi dan menunggu sampai ayahnya selesai masak. Setelah ayahnya selesai memasak, mereka berdoa lalu makan sarapan bersama.
.

.

.


“Aku berangkat, ayah!”

“Hati-hati dijalan, sayang!”

Liana mengambil sepeda dari pekarangan rumahnya dan membawanya ke depan rumahnya. Ia mulai menggowes sepeda miliknya menuju SMA-nya dan tidak terlihat seperti mengingat kejadian kemarin.

Itulah Liana. Jika kemarin dia merasa sangat sedih atau marah, keesokan harinya ia sudah melupakannya dan hanya menganggapnya seperti angin lalu.

@@@@@

Angin di musim dingin ini mulai berhembus dengan kencangnya, membuat suhu dingin disitu menjadi bertambah.

Liana menggowes sepedanya dengan penuh semangat, lalu masuk ke dalam halaman sekolahnya. Ia menaruh sepedanya di parkiran sepeda dan berjalan menuju gedung sekolah. Ia mulai disapa oleh teman-temannya yang lewat di depan atau di sampingnya, dan Liana pun menyapa mereka balik.

Setelah naik ke lantai 3 dan menemukan kelasnya, yaitu kelas 10-2, ia langsung memasukinya dan duduk di tempat biasa, yaitu di barisan sebelah kiri nomor 3 dari belakang. Angin sepoi-sepoi bisa kita rasakan jika duduk disitu karena jendelanya sudah tidak bisa ditutup karena rusak. Entah kenapa jendela itu tidak pernah diperbaiki.

Liana menaruh tas lalu menghempaskan bokongnya di kursi sambil menopang dagu dan melihat ke luar jendela. Telinganya bisa mendengar jelas apa yang dibicarakan oleh teman-teman sekelasnya yang suka sekali bergosip.

“Hei, kau tahu tidak? Aku baru saja ditembak oleh kakak kelas!” Teriak perempuan berambut coklat panjang dengan beberapa jepitan di rambutnya.

“Serius nih?! Terus, kau menerimanya?” Tanya perempuan yang lain yang memiliki rambut bob yang tertata rapi. Dan setiap dia bergerak, rambutnya ikut bergoyang.

“Tentu saja tidak. Wajahnya memang tampan sih, tapi dia bukan tipeku.”

“Ah, kau ini. Sok jual mahal.” Kata perempuan satu lagi yang berwajah galak dan rambutnya yang seperti model laki-laki itu menambah kesan tomboy.

Mereka pun tertawa terbahak-bahak.

“Kalau tentang anak kembar yang menghilang, kalian tahu tidaaak?” Tanya perempuan berambut bob itu pada 2 temannya.

“Anak kembar yang menghilang? Maksudmu, Si Kembar Miyamoto itu? Kembar aneh itu?! Ahahaha!” Kata perempuan berambut panjang itu sambil tertawa terbahak-bahak.
Liana melirik ke arah mereka. Dia pernah mendengar tentang Si Kembar Miyamoto itu. Katanya, mereka berdua adalah murid terpintar di angkatannya. Mereka tidak sekedar pintar di pelajaran yang hanya mengeluarkan teori saja, tapi juga dalam pelajaran yang mengeluarkan fisik, kreatifitas, dan lain-lain.

Tapi, kenapa teman sekelasnya itu memanggil mereka aneh? Bukankah, kalau anak pintar itu hebat?

“Wahahaha! Baguslah kalau mereka hilang. Aku muak melihat mereka berdua. Mereka sok pintar.” Kata perempuan berambut pendek itu sambil menyilangkan kedua tangannya.

“Mungkin karena mereka terlalu sombong dengan kepintarannya, sehingga mereka dibunuh oleh seseorang dan mayatnya tidak diketahui dan dinyatakan hilang!”

“Hahahaha!!”

Liana tidak suka mendengar mereka meledek murid lain. Akhirnya, ia bangkit dari kursinya dan berjalan keluar kelas dan memilih untuk berkeliling daripada mendengar gosip bodoh itu.

.

.

.

KRIIING!

Suara bel tanda bahwa pelajaran akan dimulai pun dibunyikan. Murid-murid langsung berhamburan masuk kelas. Liana, setelah cukup lama berkeliling, akhirnya ikut masuk ke kelas. Tapi, ada yang menepuk pundaknya pelan. Spontan, ia langsung menengok ke belakang.

“Saki!” Kata Liana setengah teriak.

“Hei. Aku hanya ingin memberitahumu, sepulang sekolah nanti, kita akan mengadakan rapat penting di ruang kesehatan.”

“Rapat penting…?”

“Iya, Juno-senpai memberitahuku tadi. Jangan sampai telat ya! Dah! Sampai bertemu lagi nanti istirahat!” Kata Saki sambil melambaikan tangannya dan masuk ke kelasnya.
Liana diam sebentar lalu akhirnya masuk ke kelasnya.

@@@@@

TING TONG! TING TONG!

Bel tanda bahwa berakhirnya sekolah telah dibunyikan. Setelah guru yang mengajar keluar, giliran murid-murid yang berdesak-desakkan ingin keluar lebih dulu.

Liana memasukkan bukunya ke dalam tas lalu menunggu sampai kelasnya benar-benar sepi tidak ada orang. Ketika ruangan kelas itu benar-benar sepi, Liana beranjak dari kursinya dan berjalan keluar kelas.

“Hei, Liana. Kau lama sekali keluarnya.”

Liana langsung menengok ke kanan. Saki sedang bersender di dinding sambil menyilangkan tangannya.

“Saki! Jadi, kau menungguku?” Tanya Liana yang terlihat sedikit terkejut. Saki tersenyum.

“Tentu saja! Ayo, Liana! Kita tidak boleh membuat senpai-senpai itu menunggu!”
Saki menarik tangan Liana dan menuruni tangga dengan sedikit terburu-buru. Liana hanya pasrah ditarik teman kecilnya itu.

Mereka pun sampai di depan ruang kesehatan. Saki langsung membuka pintu ruang itu.

GREEEK!

“Kami datang! Maaf kalau kami terlambat!”

“Saki! Liana-chan! Akhirnya kalian datang juga!” Kata Juno yang terlihat sangat antusias melihat kedatangan mereka.

“Hai, senpai..” Liana melambaikan tangan pada Juno. Juno membalasnya dengan senyuman.

Ternyata ketiga senpai nya sudah datang lebih dulu dibanding mereka. Juno sedang duduk di salah satu kasur di ruang itu, Haruki yang sedang tiduran di kasur yang diduduki Juno, dan Kurosuke menatap pemandangan di luar dari jendela.

“Baik. Karena semuanya sudah berkumpul, aku akan mulai rapatnya.”
Seketika, mereka semua langsung berhenti melakukan aktivitas masing-masing dan memilih untuk mendengar Juno.

“Kalian pasti tahu, tentang murid kembar kelas 10 yang dikabarkan menghilang itu kan?” Tanya Juno kepada seluruh anggotanya.

Seluruhnya pun mengangguk.

“Kalau tidak salah, mereka sudah menghilang dari 5 hari yang lalu…” Kata Haruki sambil menaruh jari telunjuk dan ibu jarinya di dagunya.

“5 hari yang lalu… hari ini hari senin, berarti 5 hari yang lalu itu hari… Rabu” Saki mengangkat tangannya dan menghitung dengan jari-jarinya.

“Ya, itu benar,” Juno menganggukan kepalanya, “Rumor bilang, mereka menghilang karena dibunuh oleh makhluk aneh ketika jalan di malam hari.”

“Maksudmu, demon?” Tanya Saki.

“Mungkin. Tapi aku tidak percaya dengan rumor itu.”

“Kalau menurut rumor yang kudengar,” Semua langsung menengok ke Haruki. 

“Mereka digentayangi dan diculik oleh makhluk halus sehingga mereka dinyatakan menghilang.”

“Konyol,” Kata Kurosuke yang tetap memandangi pemandangan dari balik jendela.

“Kata teman sekelasku,” Liana akhirnya angkat bicara. “Mereka terlalu memamerkan kepintarannya sehingga mereka dibunuh dan mayatnya tidak ditemukan dimana-mana.”

“Hm… itu cukup masuk akal…” Juno mengangguk-anggukan kepalanya.

“Berarti mereka sudah mati, ya…” Kata Haruki yang awalnya mengambil posisi duduk, lalu kembali tiduran lagi.

“Sekarang, rumor yang didengar Juno-senpai jadi terdengar masuk akal…” Kata Saki.

Liana mencengkram ujung seragamnya. Batinnya berkata bahwa murid kembar itu belum mati. Lantas, suara siapa yang ia dengar di dalam Stasiun Konohana itu? Suara laki-laki dan perempuan yang berteriak minta tolong terus-menerus…

“La-lalu!” Teriak Liana tiba-tiba yang membuat seluruh orang disitu melihat ke arahnya, kecuali Kurosuke.

“Lalu… suara siapa yang ada di stasiun waktu itu…?” Tanya Liana yang badannya sedikit bergetar.

“Suara? Kau mendengar suara?” Tanya Juno balik pada Liana.

“Iya… ketika aku ingin menyusul Kurosuke-senpai, aku mendengar suara minta tolong. Awalnya, suara itu terdengar pelan. Tapi lama kelamaan mereka berteriak. Aku takut sekali, dan langsung berlari dan berdiri di samping Kurosuke-senpai sambil mencengkram lengan bajunya.”

SIIIING… ruang kesehatan itu langsung sunyi senyap.

“Jadi, maksudmu, mereka itu masih hidup dan terjebak di stasiun?” Tanya Saki yang langsung dijawab anggukan oleh Liana.

“Apa kau benar-benar mendengarnya, Liana?” Tanya Juno yang memastikan bahwa Liana tidak berbohong.

“Benar, senpai. Aku mendengarnya dengan telingaku sendiri.”

“Hmm… Bagaimana kalau malam ini, kita pergi ke Stasiun Konohana lagi?” Ujar Haruki.

“Lagi?” Kurosuke terlihat tidak tertarik. Padahal, ia ingin misi kali ini itu ada di tempat yang berbeda dari yang kemarin.

“Iya. Untuk memastikan, apakah yang Liana dengar itu memang benar atau tidak. Itu berarti kau harus menjemput Liana lagi di rumahnya besok  malam.” Juno mengacungkan jari telunjuknya. Kurosuke kembali memperhatikan pemandangan di luar tanpa mempedulikan kata-kata Juno.

“Emm… ano… apakah besok sehabis pulang sekolah aku boleh ikut kalian ke asrama? Lebih baik aku menunggu sampai malam tiba bersama kalian daripada aku sendiri di rumah dan menyusahkan Kurosuke-senpai karena harus menjemputku,” Kata Liana sambil mempertemukan kedua jari telunjuknya dan memainkannya.

“Tentu saja boleh, Liana-chan! Kau bisa bermain denganku untuk menghabiskan waktu!” Haruki langsung bangkit dari tempat tidur  dan tersenyum bahagia.

“Iya. Kau juga bisa menitipkan tas mu di asrama kami sementara waktu dan kau bisa mengambilnya lagi ketika misi kita sudah selesai,” Kata Saki menambahkan.

“Ehehe… terima kasih banyak…” Liana tertawa kecil.

“Baik. Stasiun Konohana, jam 1 malam nanti. Siapkanlah diri kalian, karena kita akan menyelamatkan mereka, bukan membiarkan mereka dibunuh.” Kata Juno dengan nada bicaranya yang serius.

Seluruh anggota itu setuju. Malam ini, mereka akan menghadapi misi yang lebih berat dibandingkan biasanya.

Yaitu, menyelamatkan nyawa murid sekolah mereka sendiri.

@@@@@